TERKINIKU.COM, SAMARINDA – Kurang lebih 30 hingga hampir 60 persen warga Indonesia terpapar informasi yang tidak benar atau hoaks saat beraktivitas di internet dan berinteraksi secara online. Namun, ironisnya, hanya sekitar 21 hingga 36 persen dari mereka yang mampu mengenali dan mengidentifikasi informasi palsu tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Pusat, Zulfadly Syam, menekankan bahwa permasalahan hoaks menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi karena sumber atau “pabrik” hoaks tersebut selalu berpindah-pindah.
Oleh karena itu, menurutnya, langkah yang paling penting untuk diambil adalah dengan memperkuat literasi masyarakat terkait dengan internet. Hal ini karena hoaks bisa diproduksi di tempat yang paling aman sekalipun di Indonesia.
“Hoaks dibuat di tempat paling aman di Indonesia. Jadi daripada menghabiskan waktu mencari, lebih baik kita memperkuat pengetahuan masyarakat dengan literasi,” jelasnya.
Dalam konteks memeriksa kebenaran informasi yang diterima melalui internet, Zulfadly menyebutkan bahwa sebagian masyarakat memilih untuk bertanya kepada rekan, kerabat, atau kolega mereka, yang mencapai sekitar 31.25 persen.
Sementara itu, jumlah yang sama melakukan verifikasi dari sumber informasi yang terpercaya. Namun, ada juga sebagian yang tidak melakukan pemeriksaan sama sekali (17.86 persen), serta sebagian lainnya membandingkan informasi dari berita lain atau menggunakan situs/aplikasi fact-checking.
“Kita sangat perlu melatih literasi internet, terutama bagi pemuda di desa, sebagai bagian dari upaya meningkatkan pemahaman masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya.
Sekjen APJII ini berharap, semakin baik penyampaian literasi, semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap informasi yang mereka terima secara online.
“Dengan itu mereka dapat lebih kritis dan cerdas dalam menyikapi informasi yang tersebar di dunia maya,” pungkasnya. (Ehd)
