SAMARINDA – Kasus pengrusakan KHDTK Unmul sebelumnya yang telah ditetapkan tersangka oleh Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) yakni E dan D yang disinyalir sebagai dalang dalam kasus ini di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (UNMUL).
Putusan yang ditetapkan sebelum nya menyatakan tersangka sebelumnya tidak sah yang di lanjut oleh batal nya penyidikan hukum.
Disebut oleh Angga Parwito Law Firm (APLF) melalui Direktur nya, Angga Dwi Saputra menyebutkan bahwa keputusan ini sebagai bentuk dari catat formil penyidikan Gakkum yang tidak memiliki bukti kuat dan ini langkah awal yang dinilai nya terlalu terburu-buru ini tidak memiliki pembuktian yang memadai.
“Klien kami sebagai korban salah tangkap,” tegasnya Sabtu (13/9/2025).
Ia mengutarakan bahwa persidangan ini berhasil mengungkapkan Gakkum yang tidak menghadirkan saksi ataupun bukti yang dapat di afiliasikan kepada klien nya yang di tuduhkan Gakkum terhubung dengan aktivitas tambang ilegal yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.
“Polda memproses saksi itu hingga menetapkan tersangka lain. Ini memperlihatkan bagaimana lemah nya penyidikan Gakkum,” apar Angga.
Namun Direktorat Reserse Kriminal Khusus di tingkat Kepolisian Daerah (Ditreskrimsus) Polda Kaltim dinilai tetap konsisten karena telah menetapkan tersangka lain atas kesaksian saksi lapangan dan penyitaan alat berat.
Angga menyesalkan dengan ada nya pihak-pihak yang menggiring opini seolah-olah klien nya ialah aktor di balik tambang ilegal tersebut.
“Ketika pengadilan telah memutuskan, mestinya seluruh pihak menghormati. Bukan nya malah menyebarkan fitnah dengan menyebut klien kami sebagai pelaku tambang ilegal, terlebih tanpa bukti. Kalau hal ini terus berlanjut, kami siap menempuh jalur hukum,” ungkap Angga.
Angga memaparkan bahwa D mengalami tekanan psikologis berat akibat penetapan tersangka mendadak. D sempat ditahan dalam kondisi kesehatan terganggu, bahkan hingga kini masih menjalani perawatan.
“Bayangkan, Status nya Ibu Rumah Tangga yang baru bercerai, kemudian ditahan tanpa dasar yang kuat. Jelas psikis nya terguncang. Putusan pengadilan ini setidaknya diusahakan untuk mengembalikan martabat nya,” beber Angga memaparkan.
Ia berharap putusan PN Samarinda menjadi pelajaran agar hukum yang berlaku tidak di jalankan untuk keperluan pribadi semata.
“Kalau kita tidak percaya lagi pada putusan pengadilan, lalu bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan? kami meminta semua pihak menghormati keputusan ini,” tegasnya.
Kasus dugaan tambang ilegal di Hutan Pendidikan Unmul sebelumnya menyita perhatian publik akibat ditangani oleh dua institusi secara bersamaan, Gakkum KLHK Kaltim dan Ditreskrimsus Polda Kaltim.
Andres Patolamo selaku pengamat hukum menilai bahwa langkah hukum tersebut dinilai janggal dan tidak sesuai prosedur yang berlaku.
“Kalau satu perkara ditangani dua institusi berbeda, ini dapat di klasifikasikan sebagai ne bis in idem. Dalam hukum Pidana itu tidak boleh terjadi,” tegas Andres.
Asas ne bis in idem merupakan asas hukum yang melarang seseorang dituntut maupun diadili lebih dari satu kali untuk satu perkara yang sama dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Bagaimana Gakkum menangani kasus itu justru memperlihatkan praktik yang tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Penangkapan dalam kasus ini dilakukan tanpa surat resmi, tanpa kehadiran kuasa hukum, bahkan keduanya tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk ditetapkan sebagai tersangka. Tertulis dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa alat bukti yang sah sebelum seseorang ditetapkan tersangka ialah dua alat bukti yang sah.
Berdasarkan hal-hal ini, Andres menilai proses hukum yang ditempuh Gakkum jelas pelanggaran formil dan materiil.
“Ketiadaan Laporan, tidak ada dua alat bukti dan bukan pula tertangkap tangan,” tandasnya.



 
                                    