Terkiniku.com, Jakarta – konom dari Prasasti Policy Center, Piter Abdullah menyatakan tidak perlu adanya perubahan besaran komisi ojek online (ojol) sesuai dengan aturan berlaku saat ini di Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
“Kalau menurut saya nggak ada yang perlu diubah (besaran komisi). Karena bagi driver, driver itu sudah punya pilihan (aplikator lain) yang memberikan komisi yang lebih rendah,” kata Piter dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Piter menilai isu perubahan besaran komisi ojol tersebut berpotensi memberikan dampak serius bagi semua ekosistem ride hailing, baik mitra driver, konsumen, dan perusahaan aplikator.
Saat ini pemerintah sudah mengatur maksimal komisi untuk aplikasi, dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 1001 Tahun 2022 yang mengatur aplikasi hanya boleh mengenakan komisi maksimal 20 persen dari pengemudi.
Ia memberikan analogi bahwa aplikator sebagai mal, dan mitra pengemudi sebagai tenant. Menurut dia, harga sewa di Mal Pondok Indah tentu akan berbeda dengan harga sewa lapak di Mal Kalibata.
“Jadi kalau saya mau buka toko di Pondok Indah, ya sewanya lebih tinggi. Ada harga, ada layanan. Kalau kita ingin layanan yang lebih bagus ya kita ke tempat dengan harga yang lebih bagus. Kalau semua diseragamkan tidak memperdulikan kualitas layanan, itu bisa merusak industri,” ujarnya.
Piter juga mengatakan bahwa penurunan komisi sebetulnya tidak berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan driver, karena akan berpotensi menurunkan permintaan konsumen karena adanya kenaikan biaya perjalanan.
Diketahui, komunitas para driver dari sejumlah daerah juga menolak usulan perubahan
Di Balikpapan, Sudarlin dari komunitas Three Wolf & Siloam Driver menyatakan bahwa potongan komisi saat ini justru sudah dibarengi dengan berbagai program bantuan seperti diskon servis kendaraan, sembako, hingga asuransi kecelakaan.
“Potongannya memang ada, tapi itu juga balik lagi ke kami. Buat kami, yang penting aplikatornya transparan dan peduli. Kalau ada masalah, ada yang bantu,” kata Sudarlin.
Sementara itu, di Jawa Timur terdapat suara penolakan dari Komunitas B_Des. Mitra pengemudi perwakilan Komunitas B_Des Dwi Wahyuliono menyebut bahwa program-program dari aplikator seperti pelatihan, promo, dan bantuan operasional lebih terasa dibanding layanan yang menjanjikan potongan lebih kecil.
“Buat saya, potongannya masuk akal. Yang penting, kami dapat dukungan nyata. Kalau cuma kecil potongannya tapi gak ada perlindungan, itu malah nambah risiko,” kata Dwi.



