Terkiniku.com, Samarinda – Penertiban Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso, Samarinda Kota, akhirnya dilakukan Jumat (9/5) pagi oleh Pemerintah Kota Samarinda. Proses eksekusi berlangsung tegang dan diwarnai aksi saling dorong antara aparat gabungan dan pedagang yang masih bertahan di lokasi.
Sebanyak 500 personel gabungan dikerahkan dalam operasi ini, terdiri dari Satpol PP, Dinas PUPR, DLH, serta mendapat dukungan penuh dari unsur TNI dan Polri. Penertiban dilakukan atas instruksi langsung dari pimpinan daerah, menyusul sengketa panjang terkait penggunaan lahan dan pelanggaran tata ruang.
“Penertiban ini sudah melalui proses panjang. Tujuannya untuk mengembalikan fungsi kawasan sesuai aturan,” tegas Plt. Asisten I Setda Samarinda, Suwarso.
Meski telah berulang kali diimbau untuk pindah ke lokasi relokasi di Pasar Beluluq, Jalan Pangeran M. Noor, sebagian besar pedagang tetap bertahan. Suwarso memastikan bahwa pemerintah telah menyiapkan fasilitas dan lapak pengganti bagi seluruh pedagang terdampak.
Namun, eksekusi tidak berjalan mulus. Sejumlah pedagang melakukan perlawanan, bahkan gapura Pasar Subuh turut dibongkar. Suasana sempat memanas saat petugas mulai membongkar 57 lapak yang berdiri di sisi kiri dan kanan jalan.
Sementara itu, pihak pemilik lahan, melalui perwakilannya Murdiatmo, menyatakan bahwa keluarganya sudah sejak 2011 mengajukan permintaan pengosongan. Ia menegaskan bahwa kondisi pasar yang semrawut dan kotor telah mengganggu kenyamanan warga di sekitar lokasi.
“Lahan ini milik keluarga kami. Kami tinggal tepat di sekitar pasar, dan sudah tidak tahan dengan bau serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Ini bukan persoalan bisnis, tapi hak sebagai pemilik sah,” ujar Murdiatmo.
Dari pihak pedagang, suara kecewa pun terdengar lantang. Mereka menilai proses relokasi dilakukan sepihak tanpa dialog memadai. Sejumlah pedagang bahkan menyatakan siap bertahan dan melawan secara hukum.
“Kami tidak diberi ruang bicara. Padahal kami sudah tempuh prosedur untuk meninjau rencana relokasi,” kata Salam, salah satu pedagang.
Ia mengaku pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan DPRD dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mencari jalan keluar, bahkan membuka opsi gugatan hukum.
“Kalau perlu, kami tetap jualan di sini. Ini tempat kami menggantungkan hidup,” tegasnya.
Eksekusi Pasar Subuh ini menjadi penanda bahwa konflik kepemilikan dan tata ruang di Samarinda belum benar-benar selesai. Meski lapak telah dibongkar, persoalan sosial dan keadilan ruang masih menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah. (nto)